Pelaut Indonesia yang
bekerja di berbagai perusahaan kapal di luar negeri merasa diabaikan.
Perlindungan hukum yang seharusnya diberikan tidak ada.
”Selama tujuh tahun
bekerja di berbagai perusahaan kapal di luar negeri, saya rasa tidak ada pihak
yang mengayomi para pelaut Indonesia, baik organisasi pelaut maupun
pemerintah,” kata Priyo Suharmono (33), pelaut di salah satu kapal pesiar rute
Meksiko-Alaska.
Pelaut Indonesia,
menurut Priyo, tidak merasakan perlindungan hukum dari pemerintah sebagaimana
dirasakan pelaut dari negara lain. Akibatnya, pelaut terpaksa menerima berbagai
permasalahan terkait hak-hak mereka, misalnya soal gaji dan
jam kerja. Gaji bulanan pelaut Indonesia 500 dollar Amerika Serikat, lebih
sedikit dibandingkan pelaut dari Eropa Timur dan Belanda. Padahal jabatan dan
kualitas kerjanya sama. Adapun untuk jam
kerja, perusahaan menambah durasi kerja yang sangat signifikan selama beberapa
tahun terakhir, tanpa ada mekanisme dialog dengan pelaut. Dari yang awalnya 9
jam per hari, kini menjadi 11 jam per hari.
”Paling-paling, kami
hanya bisa bertanya kepada pihak manajemen perusahaan. Kalau sudah mendapatkan
jawaban, meskipun tidak memuaskan, ya sudah. Mau bagaimana lagi, wong kami juga
tidak bisa berbuat apa-apa,” katanya.
Secara terpisah Ketua
Bidang Litbang dan Koordinasi Pelaut Bhineka Tunggal Ika (PBTI), Sapnawi,
menyatakan, sistem perlindungan hukum terhadap pelaut Indonesia sangat lemah.
Dibandingkan dengan Filipina saja, standarnya masih kalah, apalagi dibandingkan
pelaut Malaysia dan Singapura.
”Kita selalu
tertinggal dibandingkan dengan pelaut dari negara-negara lain. Ini terutama
karena regulatornya, pemerintah dan DPR, tidak paham dunia pelaut,” kata
Sapnawi.
Total pelaut
Indonesia, menurut Sapnawi, lebih-kurang 330.000 orang, tersebar di berbagai
perusahaan kapal baik domestik maupun luar negeri.
Referensi
Kompas Edisi 2 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar